KEEP ISTIQOMAH

Senin, 24 Januari 2011

Aliran Murji’ah


Sungguh, jika kita lihat sekarang ini, berbagai bantahan terhadap golongan yang dianggap khawarij sangat banyak tersebar, buku–buku dan makalahnya sangat banyak beredar baik di kalangan komunitas atau di toko–toko buku umum.
Dan kebanyakan kajian tentang persoalan tersebut sangat kuat menekankan penolakannya sehingga cenderung mengabaikan aspek obyektifitas, sehingga tak jarang para penentang khowarij tersebut justru secara sadar atau tidak mereka terjerumus ke dalam sifat dan akidah murji’ah, Sementara itu, jarang sekali kita menemukan orang yang menulis tentang fenomena irja’ atau murji’ah secara detail, terutama sikap irja’ kontemporer atau neomurji’ah dan para penganutnya yang taklid. maka dari itu kami akan coba sedikit jelaskan tentang golongan murji’ah ini.
untuk lebih jelasnya, pertama kami akan coba merinci definisi dari murji’ah.
Secara bahasa, dalam kitab Tartibul Qamus Al Muhid jilid 2 halaman 313 disebutkan bahwa murji’ah berarti Mengakhirkan.
Sedangkan Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan dalam mengartikan  kalimatMurji’ah, secara ringkas kalimat Murji’ah adalah:
Mengakhirkan amal dari Iman.
Al Bagdadi berkata : “Mereka dikatakan Murji’ah dikarenakan mereka mengakhirkan amal dari pada iman.”
Al fayaumy berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak memberi hukuman kepada seseorang  di dunia akan tetapi mereka mengakhirkan hukuman tersebut hingga datangnya hari kiamat.”
Pendengar yang budiman, Inilah definisi dari murji’ah yang dijelaskan oleh para ulama.
Adapun munculnya aliran murji’ah ini lebih terlihat dari latar belakang politik alias kekhalifahan. Dimana Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Diantara kelompok Ali terdapat golongan yang setia membela Ali, bahkan sampai-sampai mereka mengutamakan Ali diatas abu Bakar dan Umar yang kemudian kelompok ini disebut syi’ah. Akhirnya, antara Ali dan Mu’awiyah membuat kesepakatan damai yang dikenal dengan peristiwa tahkim, dimana masing masing mereka mengangkat salah seorang ‘alim yang akan mengkumi mereka berdasarkan hukum Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi ketika peristiwa itu terjadi, munculah kaum khowarij yang berpendapat bahwa Ali dan Mu’awiyah telah kafir, sebab mereka telah memberi hak kepada manusia dalam membuat hukum, yang mana hal ini berarti termasuk kesyirikan yang nyata dalam hal hakimiyah. Kemunculan khowarij ini semakin berkembang, sampai-sampai mereka memiliki prinsip dalam beraqidah yang sangat keliru, yang akhirnya  mereka menganggap kafir setiap pelaku dosa besar. Selain itu muncul juga Mu’tazilah yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak beriman dan tidak kafir, tapi di neraka ia akan kekal atau selama-salamanya. Dan beriringan dengan semakin berkembangnya kelompok khowarij serta mu’tazilah ini, maka munculah golongan murji’ah, yang mana pada mulanya kelompok murji’ah ini ingin melepaskan diri dari masalah pengkafiran, sekaligus untuk mengcounter atau membendung paham Khawarij  yang mengkafirkan dua orang yang memutuskan perkara dalam perselisihan antara Ali dan  Muawiyah. Akan tetapi murji’ah pun terjerumus dalam kesalahan dalam beraqidah, sehingga mereka berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dalam hati. Jika seseorang masih beriman di hatinya berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar dan melakukan amal kekufuran atau perbuatan yang kufur.
Adapun POKOK PEMIKIRAN DAN AQIDAH MURJI’AH, diantaranya adalah
1.      Iman itu adalah tashdiq saja atau pembenaran hati saja atau iqrar saja.
2.      Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam bagian iman.
3.      Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
4.      Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan Mu’min kamilul Iman atau mukmin yang sempurna imannya, dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
5.      Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya diakhirat nanti. Ini seperti pemahaman Mu’tazilah
6.      Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka Imamnya itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy. dalam masalah ini pemahamannya seperti Khawarij.
Inilah beberapa prinsip utama Orang-orang Murji’ah, sehingga mereka mengatakan bahwa Iman adalah amalan hati saja atau amalan lisan saja atau kedua-duanya. Dan amal perbuatan tidak termasuk iman, serta iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Sampai-sampai perbuatan kafir dan zindik pun  tidak membahayakan bagi keimanan seseorang.
Selanjutnya kita akan perhatikan bagaimana. KECAMAN para ulama Ahlussunnah  TERHADAP MURJI’AH
Imam Az-Zuhri rohimahulloh berkata:Tidak ada bid’ah yang lebih berbahaya dalam Islam kecuali bid’ah  Irja’.
Imam Al-Auza’i rohimahulloh berkata: Yahya bin Abi Katsir serta Qatadah mengatakan bahwa tidak ada  yang lebih ditakuti oleh ummat dalam hal hawa nafsu melebihi irja’
Syuraik rohimahulloh berkata: “Mereka adalah sejelek-jelek kaum, cukuplah Rafidlah itu disebut jelek akan tetapi Murji’ah lebih jelek lagi karena mereka mendustakan Allah.”
Shafyan Ats-Tsauri rohimahulloh berkata: “Murji’ah meninggalkan Islam lebih lembut dari pada  pakaian   Sabiri
Kita juga perlu mewaspadai golongan murji’ah modern, sebab mereka sekilas sama dengan manhaj Ahlussunnah, dimana mereka mendefinisikan iman dengan definisi yang shohih, bahwa iman adalah keyakinan di hati, ucapan di lisan dan amalan dengan anggotta badan, namun jika kita lebih jeli dan teliti, ternyata pada hakikatnya, golongan neo murji’ah ini tidak mengkafirkan seseorang kecuali dengan kufur I’tiqad saja. Sementara Mereka memandang bahwa amal perbuatan kufur tidak menjadikan pelakunya kafir, dan tidak membahayakan keimanannya. Mereka memandang bahwa Orang yang melakukan kekufuran tetap disebut sebagai seorang mu’min yang sempurna selama tidak ada istihlal dalam hatinya atau menganggap halal perbuatannya. Padahal, ahlussunnah wal jama’ah memandang bahwa kufur pun dapat terjadi pada amal, bukan hanya pada keyakinan saja. Sehingga jika ada orang yang melakukan perbuatan kafir, misalnya menyembah kuburan atau berhukum dengan selain hukum Allah, maka menurut ahlussunnah ia telah kafir tanpa melihat apakah hatinya menganggap halal perbuatan itu, sementara aliran sesat murji’ah tidak memandang perbuatan itu sebagai kekafiran.
Kemudian, kami akan coba jelaskan, mengapa murji’ah berpendapat bahwa iman itu hanya di hati dan lisan, sementara amal tidak termasuk iman. Sebab mereka selalu mengambil nash-nash yang berisi janji dan ampunan, akhirnya Mereka menyingkirkan seluruh amal dari iman dan mengatakan cukuplah seseorang sudah dianggap beriman dan sukses menggapai ridha Allah dengan cara menjadikan hati mengenal Allah dan mempercayai-Nya.
Dengan demikian mereka telah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pelaku kebatilan dan pemalas untuk sekedar berangan-angan tanpa ada amalan nyata. Mereka sudah merasa menjadi ahli surga cukup dengan Iman di hati dan mengucapkan syahadat, tanpa perlu ibadah dan meninggalkan maksiat.
Dan berikut ini kami akan coba sampaikan bantahan terhadap  hujjah murji’ah
Abdurrahman ad-Dimsaqiyah dalam bukunya yang berjudul “Syubhatu Ahlil fitnah wa Ajwibah Ahlus Sunnah”, mengcounter pendapat Murji’ah dengan beberapa ketentuan, dimana murji’ah mengeluarkan amal dari iman, sehingga orang yang tidak beramal masih dikatakan beriman, dan tentu pendapat mereka itu bertentangan dengan nash-nash syar’i, diantaranya adalah:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا الله
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah.”
Kemudian dalam riwayat lain hadits ini dilanjutkan dengan perkataan :
وَيُقِيْمُوْا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ
“Dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.”
Selain itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat AtTaubah ayat ke 11
فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوْا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.”
Maksud dari hadits dan ayat-ayat tersebut adalah, bahwa sesungguhnya jika mereka tidak mendirikan shalat, maka mereka tidak dikatakan sebagai saudara-saudara seagama dan tidak pula disebut sebagai saudara seiman. Berarti, sholat dan zakat juga bagian dari iman, dan meniggalkan amal-amal tersebut tentu akan membahayakan iman, bahkan Umar ibnu Al Khattab berkata: “Orang yang meninggalkan shalat itu bukan orang Islam.” Selain itu dalam kitab Syubhaat Ahlul Fitnah Wa Ajwabah Ahlus Sunnah, Imam Abu Darda’ juga berkata “Tidak dikatakan sebagai orang yang beriman kalau tidak mau menegakkan shalat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar